Suasana luluh lantak di Sulteng, tampak puing berserakan. Pemandangan ini membuat Bambang Santoso bergetar. Foto: Bambang Santoso |
JURNALBANUA, KOTABARU - Pekerja Minamas Grup Area Sungai Durian, di pelosok Kalsel terbang ke Palu Sulawesi Tengah. Bambang Santoso tiba di Palu, Minggu (14/10) tadi, dia melihat dahsyatnya bekas bencana di sana, hatinya tergetar.
"Puing di mana-mana. Rumah-rumah hancur, mobil mahal tertimbun tanah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana ngerinya waktu kejadian," ujar Wakil Ketua Serikat Pekerja (SP) Minamas Sungai Durian itu.
Bambang bersama beberap rekannya ke sana diutus Ketua SP Rabbiansyah alias Roby. Sementara Roby jaga kandang, mengurus sisa bantuan yang Senin (15/10) tadi dikirim lewat Manajemen Minamas Berbagi dan Polsek Pamukan Utara. Totalnya Rp80 juta.
Bambang lebih dulu berangkat. Untuk memantau kondisi faktual di lapangan. Laporannya digunakan Roby dan rekan-rekan di daerah untuk menjadi pertimbangan pembelian barang-barang sumbangan.
Total uang itu sendiri merupakan patungan para anggota serikat pekerja di Sungai Durian. "Ada yang sumbang lima ribu. Ada seratus ribu. Tergantung kemampuan masing-masing. Jadi ini dari buruh untuk Sulawesi," kata Roby.
Tiba di Palu, Bambang tidak buang waktu. Dia berkeliling dibantu petugas dan relawan di sana. Dia melihat bantuan banyak berdatangan. Di posko-posko. Tapi masih banyak warga yang tidak mau tinggal di posko, mereka ini yang kesulitan makanan dan tempat tinggal.
"Kalau di posko bantuan datang terus. Tapi di luar posko, di tempat terpencil susah. Warga ada yang cuma dapat dua bungkus mie saja," ucap Bambang bergetar, kepada JurnalBanua, Selasa (16/10) pagi tadi.
Bijaknya, saat ke sana Bambang memang tidak membawa bantuan dalam bentuk barang. Tapi uang. Dari total Rp80 juta, Bambang membawa Rp20 juta. Uang itu segera dia belanjakan untuk warga yang belum terjangkau bantuan Posko.
"Yang kurang makanannya kami belikan beras. Ada yang satu ton untuk beberapa RT. Ada yang kami belikan terpal. Tergantung apa yang mereka butuhkan."
Dari Palu, Bambang Santoso dan rekan-rekannya membeli beras dibawa ke titik-titik yang membutuhkan. Foto: Bambang Santoso |
Bambang menceritakan. Waktu kejadian itu, Kasman sedang ke luar rumah. Di mana-mana gemuruh suara gempa. Alangkah terkejutnya Kasman melihat pohon-pohon bergerak, rumah berjalan.
"Kasman mengira pohon di ujung desa bergerak. Padahal tanah yang dia pijak yang begerak," tutur Bambang bergidik seolah membayangkan mencekamnya suasana saat itu.
Kasman (kiri) mendapat bantuan dari pekerja Minamas. Foto: Bambang Santoso |
Kadang diam-diam, Bambang tidak mampu menahan tetes air matanya. Melihat kelaparan, kekurangan dan ketidakberdayaan parade manusia setelah ditimpa bencana hebat itu. Semua itu ditingkahi suara tangisan keluarga yang kehilangan. Lumpuh di mana-mana.
"Mereka tidak bisa bekerja. Lumpuh, ekonomi gak jalan. Bantuan sangat mereka perlukan. Juga tambahan tenaga untuk membantu penyaluran logistik," tuturnya.
Sudah Dari Dulu
Aksi para buruh Minamas Sungai Durian itu terang saja mendapat apresiasi. Meski mereka sendiri tengah berjuang mendapatkan Upah Minimum Sektoral Kabupaten, tapi tidak menghalangi sedikit menyisihkan pendapat untuk saudara sebangsa yang kena musibah.
"Kami tidak kaya. Tapi kami bersatu. Apa-apa kalau gotong-royong akan ringan," ujar Roby.
Roby menyerahkah bantuan kepada Polsek Pamukan Utara untuk diteruskan ke Sulteng, Senin (15/10). Foto: istimewa |
Untuk Kabupaten Kotabaru bahkan mungkin di Kalsel, Serikat Pekerja Sungai Durian itu disebut-sebut paling aktif. Meski mereka karyawan buruh sawit, yang sudah diketahui umum masih berjuang mendapatkan upah yang layak.
Mengapa mereka begitu aktif, urusan internal sampai aksi kemanusiaan. Banyak telunjuk mengarah ke Roby. Ketua serikat itu disebut-sebut menjadi motor penggerak persatuan para buruh. Jabatan ketua di usianya yang terbilang sangat muda, sepertinya menjadi bukti jiwa kepemimpinan dan sosial Roby.
Sarjana sosial di Uniska Banjarmasin itu, beberapa tahun silam berkali-kali menggelar aksi. Menuntut Upah Minimum Kabupaten. Beberapa tahun kemudian UMK disahkan. Sekarang dia dan rekan-rekannya berjuang lebih spesifik lagi UMSK.
Kepada JurnalBanua, Roby enggan disebut sebagai motor di sana. "Kami di sini saling membantu. Tidak ada yang lebih dari yang lain. Kami tidak akan bisa begini kalau tidak bersatu," ucapnya.
Persatuan itu kata dia menjadi nafas para pekerja di Sungai Durian. "Kami ini orang kecil. Hanya buruh. Kalau kami tidak bersatu, bagaimana? Terpenting juga kami itu berjuang hal-hal yang realistis."
Persatuan itu juga jelasnya, yang menjadi landasan sikap aksi kemanusiaan para buruh untuk Lombok, Palu dan lainnya. "Kita satu bangsa. Mereka susah kta bantu semampu kita. Begitu dunia. Tidak bisa sendiri, atau egois."
Begitu juga dengan para buruh di sana tekannya. Minamas Sungai Durian tidak sendiri. Mereka bersatu dengan para buruh perusahaan-perusahaan sekitar. Menjalin komunikasi, kerja sama, dan berjuang bersama. (JurnalBanua)
Posting Komentar