JURNALBANUA.COM, KOTABARU - Masih ingat dengan protes lelang mega proyek belasan miliar pelebaran Siring Laut? Kecurigaan publik bahwa ada apa-apa dengan proses lelangnya perlahan menemukan pembenarannya.
Buktinya, sampai sekarang belum ada kejelasan terkait keberadaan alat batching plant. Padahal alat itu adalah salah satu syarat utama memenangkan lelang itu. Bahkan, pejabat yang bertanggung jawab terhadap proyek itu tampak tidak suka saat ditanya hal tersebut.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Khairian Ansyari saat ditanya bukannya menjelaskan agar publik mengetahui apa yang terjadi. Khairian malah balik bertanya. "Kenapa sih nanyain batching plant terus dari kemarin itu. Nanyain batching plant terus," ujarnya, Selasa (2/10) malam tadi di Siring Laut.
Koran harian Radar Banjarmasin |
Batching plant adalah tempat atau alat untuk memproduksi bahan baku beton ready mix atau beton cair dalam skala besar. Alat ini menjadi salah satu syarat utama memenangkan proyek belasan miliar itu.
Sayangnya, alat ini sampai sekarang belum tampak ada di lokasi. Sementara itu, dari awal publik sudah menduga alat tidak akan bisa dibawa karena posisinya di Jawa. Perlu biaya besar membawa dan memasangnya di dekat lokasi kerja. Memasang alat sampai bisa beroperasi memerlukan waktu satu sampai dua bulan.
Menanggapinya, Khairian mengatakan masalah (kenapa kontraktor yang alatnya jauh bisa menang) itu merupakan urusan Pokja (Kelompok Kerja) ULP (Unit Layanan Pengadaan).
Namun, Rabu (3/10) tadi Kepala ULP Rahmad Nurdin terlihat enggan disalahkan. Kepada Radar Banjarmasin pejabat senior ini mengatakan, bahwa urusan Pokja sudah selesai dengan penetapan calon pemenang. Sekarang ini sebutnya semua sudah wewenang Dinas. Pokja katanya saat itu hanya memverifikasi apakah alat calon pemenang di Jawa ada atau tidak. Juga Nurdin mengingatkan hasil lelang itu justru diterima oleh Disbudpar. Sementara katanya Disbudpar punya kewenangan untuk menganalisis atau mengevaluasi hasil Pokja.
Nurdin juga mengatakan, syarat yang ditetapkan oleh Disbudpar untuk mega proyek Siring Laut memang terbilang sulit. Karena perusahaan harus memiliki sertifikat ISO 2015. Kondisi itu sebutnya pernah disampaikan ke Dinas, tapi syarat tetap diberlakukan. Sehingga tidak aneh ketika upload dokumen penawaran, hanya ada satu perusahaan yang melampirkannya. Walau belakangan, diketahui salah satu perusahaan yang gugur juga memiliki sertifikat tersebut namun tidak mengunggah ke sistem dengan alasan kesalahan teknis.
Ketua Gapensi Kotabaru Winarto Hadi beberapa waktu lalu kepada Radar Banjarmasin mengatakan pengkondisian tender memang bisa dilakukan. Caranya dengan membuat syarat lelang sedemikian untuk mengarah pada pemenang tertentu. Walau kemudian di lapangan, apa yang disyaratkan di lelang tidak diberlakukan.
Seperti pernah diberitakan koran ini, PT Lidy's Artha Borneo (LAB) asal Banjarmasin akhir April tadi melayangkan protes kepada Pokja ULP terkait tender pelebaran Siring Laut dengan anggaran Rp14,3 miliar. LAB protes karena digugurkan tidak melampirkan dokumen ISO 2015. Juga memprotes karena menilai pemenang PT Duta Ekonomi (DE) tidak akan sanggup membawa alat batching plant dari Jawa. DE sendiri diketahui berasal dari Sampang Jawa Timur.
Waktu itu LAB menawar Rp12,6 miliar. Sedangkan DE menawar Rp13,6 miliar. LAB sendiri mengaku semua alat mereka lengkap di Kalsel posisinya. Belakangan LAB mengaku tidak sempat melampirkan sertifikat ISO 2015 karena kesalahan teknis ketika mengisi sistem elektronik LPSE. LAB mengaku panitia langsung menggugurkan mereka tanpa melakukan upaya verifikasi.
Anggota Pokja Fitria saat itu membenarkan tidak melakukan verifikasi. "Tapi kan itu sudah jadi syarat. Mestinya mereka upload. Masa' kami harus tanya apakah kamu ada ISO atau tidak. Kan kerja kita di LPSE itu sistem," ujarnya.
Keraguan LAB terkait alat pemenang, Fitria mengaku sudah memverifikasi alat DE ke Jawa. Semua lengkap. Batching plant ada, tongkang dan kapal. Perusahaan juga meneken pernyataan kesiapan membawa alat ke Kotabaru. Akhirnya kontrak diteken, masa kerja dari 28 Mei sampai 23 November.
Waktu berlalu, dari Mei sampai pertengahan Agustus tidak tampak ada tanda-tanda pekerjaan. Baru di akhir Agustus terlihat kontraktor membawa tiang pancang dengan kapal tongkang.
Awal September pekerja menaruh ratusan tiang pancang ke laut. Tidak ada terlihat alat batching plant mereka bawa. Pelaksana proyek Rozak mengatakan, mereka tidak membawa alat karena kepala daerah tidak menyetujui ada aktivitas berat di sana yang dapat menganggu kenyamanan pengunjung Siring Laut.
Belakangan Rozak mengatakan akan memakai alat batching plant yang ada di depan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Sekitar lima kilometer dari pusat kota. Alat itu milik perusahaan lokal. Rozak mengaku, akan membeli material (ready mix) hasil olahan batching plant itu. Ready mix adalah adonan semen dan kerikil dengan komposisi tertentu.
Namun Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sendiri memberikan keterangan berbeda. Di akhir Agustus tadi, Kabid Pariwisata Pia Widya Laksmi mengatakan kendala kontraktor membawa alat karena dalam dokumen tidak ada biaya mobilisasi alat dari Jawa ke Kotabaru. Untuk itu kontraktor diperkenankan memakai alat di lokal yang spesifikasinya sama.
Pekerja mega proyek Siring Laut bekerja tanpa alat safety |
Dikonfirmasi Rabu (3/10), Kasi Intel Kejari Agung Nugroho tidak menjawab pertanyaan wartawan soal batching plant. Dia hanya menjawab pertanyaan terkait progres pekerjaan di lapangan. Kata Agung, progres pekerjaan masih dikejar. Sejauh ini kata dia proses pekerjaan sesuai prosedur.
Terkait prosentase pekerjaan Siring Laut, Khairian pada Selasa malam tadi, mengaku tidak mengetahui persis angkanya. Sudah ada kata dia yang bertugas terkait data teknis proyek. Dia sendiri rutin berada di Siring Laut memantau pekerjaan tersebut.
"Yang aku tahu kontraktor masih bekerja sesuai skedul. Kita konsentrasi mengejar percepatannya saja," ujarnya. Dia juga menekankan pekerja di lapangan maksimal dari pagi sampai malam. "Dan mereka tidak ada istirahat dari pagi. Makan pun mereka di situ," tambahnya.
Pekerjaan kontraktor sejak awal September tadi memasang tiang pancang. Dari keterangan pemerintah sebelumnya, ada sekitar 216 titik tiang. Pemasangan tiang sejauh ini dipengaruhi pasang surut air laut. Sudah ada sekitar 55 tiang yang dipasang hingga Kamis (4/10) siang kemarin.
Khairian mengatakan, meski ada hambatan tapi pekerja sudah menemukan pola. Jika surut tongkang tidak bisa gerak, maka pekerja melakukan kerjaan lain. Tiang-tiang yang sudah dipancang dipotong, kemudian dipasang bekisting untuk lantai Siring Laut.
Optimis kah dia pekerjaan bisa selesai sesuai waktu kontrak? Khairian menekankan harus optimis. "Aku tiap hari ada di sini ya, mengawasi pekerjaan mereka. Kawan-kawan lihat lah tanpa aku bilang, pagi siang sore termasuk malam ini. Kalau aku gak optimis, siapa lagi yang kasih semangat mereka," tekannya.
Dari pantauan di lapangan sendiri, perusahaan yang katanya memiliki sertifikat ISO 2015 itu sendiri bekerja tidak berbeda dengan yang sudah-sudah. Bahkan beberapa pekerja yang melakukan pekerjaan berbahaya, mengikat tali tiang pancang di laut, untuk diangkat naik ke kapal memakai cranner tidak mengenakan peralatan keamanan seperti helm dan lainnya. Para pekerja yang memasang tiang pancang itu berasal dari Jawa. (Radar Banjarmasin edisi 7 Oktober 2018)
Posting Komentar