Suasana di perbatasan Desa Jambu Baru, Marabahan, Barito Kuala | Foto: Nasrullah |
Dalam keterangan pers yang diterima Jurnal Banua, Minggu (3/4) petang tadi, Nasrullah menduga latar belakang masalah penegasan tapal batas terkait ekspansi perusahaan sawit swasta di sana.
Nasrullah |
Dia pun meminta, netralitas tim dalam penetapan tapal batas ke dua desa tersebut.
"Jangan sampai penetapan batas desa ini merugikan salah satu desa atau pun kedua desa tersebut. Terutama oleh kemungkinan adanya kepentingan pihak ke tiga," tegasnya.
Penulis buku Gerakan Laung Bahenda kelahiran Jambu baru itu menambahkan, proses penetapan batas desa ini mesti memenuhi aspek areal kebudayaan kedua desa.
Hal itu sebutnya untuk menginventarisir hukum tertulis maupun sumber hukum lainnya.
"Keterlibatan para tokoh adalah untuk melihat praktek kehidupan warga secara de facto tentang batas desa versi kesepakatan warga," jelasnya.
Menurut Nasrullah, warga di dua desa memahami batas areal kerja mereka melalui pohon, nama padang, sungai dan lain-lain yang menandai kesadaran bersama apakah mereka berada pada batas desanya atau desa tetangga. Pengalaman seperti ini dapat dilihat sebagai hukum tak tertulis.
Begitu juga dengan sungai yang bisa menjadi acuan batas desa, harus dilihat kategori sungai apakah sungai alami atau buatan.
Begitu juga dengan jenis sungai apakah termasuk tatas, parit, saka dan lain sebagainya.
"Nama-nama sungai ini bisa sama di daerah lain tetapi digaris bawahi areal yang menjadi batas ini adalah daerah non pertanian padi sehingga definisi sungai akan berbeda dengan daerah non pertanian," tuntasnya. (shd/jb)
Posting Komentar