Mardani Maming saat menjalani pemeriksaan di KPK. Mantan bupati Tanah Bumbu Kalsel sekaligus politikus PDI Perjuangan ini diduga KPK menerima gratifikasi suap sebesar Rp104,3 miliar |
"Jumat (21/10/2022), penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap II) untuk tersangka MM telah selesai dilaksanakan dari tim penyidik pada tim jaksa," ujar Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding, Sabtu (22/10/2022).
Ipi menjelaskan, tim jaksa menilai berkas perkara telah memenuhi syarat, baik dari sisi formil atau materiil.
"Tim jaksa siap untuk menguraikan serta membuktikan seluruh dugaan perbuatan tersangka MM berdasarkan alat bukti yang telah dikumpulkan selama proses penyidikan perkara ini," katanya.
Menunggu sidang, politikus PDI Perjuangan itu sendiri akan tetap ditahan di Rutan KPK Pomdam Jaya Guntur, hingga 9 November mendatang.
Selama Mardani Maming di dalam tahanan, Tim Jaksa KPK akan menyusun surat dakwaan paling lambat selama 14 hari untuk diserahkan ke pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Seperti telah diberitakan, KPK menduga Mardani menerima sedikitnya aliran dana Rp104,3 miliar. Dari transaksi yang dikemas seolah-olah merupakan kerja sama bisnis.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan kasus ini bermula ketika Maming masih menjabat Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Periode 2010 sampai 2018
Sebelum Oktober 2016, para kepala daerah masih berhak mengeluarkan izin pertambangan di wilayahnya.
Sama dengan kepala daerah yang lain, Mardani pun banyak mengeluarkan izin tambang.
Termasuk melimpahkan izin tambang dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) ke PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) di tahun 2011. Setahun setelah Mardani jadi bupati.
Proses pelimpahan izin tambang dari BPKPL ke Prolindo itu kata Alex, melanggar UU No 4 Tahun 2009.
KPK lalu menemukan indikasi, kalau di tahun 2010, Dirut PT PCN Henry Soetio (almarhum) melobi Mardani. Agar dia bisa mendapat IUP milik PT BKPL. Seluas 370 hektare di Kecamatan Angsana.
Tahun 2011, Mardani mempertemukan Henry dengan Kepala ESDM Tanah Bumbu Raden Dwidjono Putrohadi Soetopo. Maksudnya agar kepala dinas membantu Henry memperoleh konsesi tersebut.
"Juni 2011, surat keputusan peralihan dari PT BKPL ke PT PCN ditandatangani. Diduga ada beberapa kelengkapan administrasi dokumen yang sengaja di-backdate, tanpa bubuhan paraf dari beberapa pejabat yang berwenang," ujar Alex.
Tidak berhenti di sana. Mardani juga meminta Henry mengajukan perizinan pelabuhan.
"Diduga usaha pengelolaan pelabuhan dimonopoli PT ATU (Angsana Terminal Utama), perusahaan milik MM (Mardani Maming)," imbuh Alex.
ATU sendiri jelas Alex diduga merupakan perusahaan fiktif yang dibuat Mardani untuk mengelola aktivitas pertambangan di Tanah Bumbu. Hingga kemudian bisa membangun pelabuhan batu bara di sana.
"Adapun perusahan-perusahaan tersebut susunan direksi dan pemegang sahamnya masih berafiliasi dan dikelola pihak keluarga MM dengan kendali perusahaan tetap dilakukan oleh MM," kata Alex
Pelabuhan itu dibangun hanya dalam waktu dua tahun, 2012 - 2014. Alex menduga, sumber dananya berasal dari Henry yang dikemas seolah-olah menjadi kerja sama bisnis.
"Aktivitasnya dibungkus dalam formalisme perjanjian kerja sama underlying guna memayungi adanya dugaan aliran uang dari PT PCN melalui beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan MM," jelas Alex.
Dugaan aliran duit gratifikasi yang didapat KPK cukup fantastis. Transaksi diduga terjadi sejak 2014 sampai 2020. Totalnya Rp104,3 miliar.
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan jelas Alex, mereka mudah dalam memperoleh alat bukti.
"Kalau perkara suap, apalagi lewat transfer bisa sangat cepat. Karena bukti-buktinya itu mudah ditelusuri," ujarnya.
Sementara itu kepada wartawan, Mardani mengklaim apa yang disangka KPK merupakan tindakan suap dan gratifikasi adalah murni bisnis.
"Itu murni masalah 'business to business'. Tidak mungkin saya sebodoh itu melakukan gratifikasi melalui transfer, bayar pajak, dan sekarang itu dalam PKPU, pengadilan utang-piutang. Murni 'business to business'," kata Mardani. (shd/jb)
Posting Komentar