Apa pun latar belakang Anda, melihat tragedi Palestina sekarang, akal sehat dan kemanusiaan kita bisa sepakat: bom-bom di Gaza adalah genosida oleh sekutu Israel - Amerika.
Banyak keturunan korban holokaus mengutuk aksi Zionis ke Gaza. Dalam sudut pandang mereka, itu sama saja mulut mengecam Hitler, tapi tangan sendiri berlumuran darah dendamnya.
Dan mungkin di dalam neraka, Hitler tertawa keras sekarang: melihat Benjamin Netanyahu dan pasukannya menjadi reinkarnasi Nazi.
Netanyahu dan Biden seharusnya sudah duduk di kursi pesakitan: terdakwa penjahat perang. Apa pun dalih mereka --termasuk bisnis gas dengan Isreal yang coba dipakai Amerika untuk menyelamatkan negara produsen hoax terbesar ini dari kebangkrutan.
Atas nama kemanusiaan, kita wajib membela Palestina, tidak ada perdebatan tentang ini. Tinggal bagaimana caranya.
Dalam skala pribadi, hal paling masuk akal saya pikir adalah dengan tidak membantu Israel - Amerika mendapatkan cuan. Sederhananya: dengan tidak membeli semua produk yang terafiliasi dengan kepentingan kedua negara itu. Dua di antaranya yang besar dan ada di dekat kita: McDonald dan Starbucks.
Boikot produk Israel dan sekutunya | Foto: IG |
Lalu bagaimana dengan para pekerja di sana yang juga saudara kita? Itulah gunanya donasi yang kita kumpulkan. Bisa dipakai untuk membantu para pekerja yang mungkin akan di-PHK ketika kedua usaha ini gulung tikar.
Donasi dapat mereka pakai untuk membuat usaha sendiri.
Dan ini kabar gembira buat para karyawan: daripada saya kerja jadi bartender kopi Amerika, mending buka usaha kopi lokal sendiri.
Siapa karyawan milenial yang menolak opsi merdeka? Tanyakan saja mereka, mau buka usaha tidak? Jawabannya pasti mau, tapi terkendala modal.
Kalau ada milenial yang masih bermental anak buah, donasi tadi bisa untuk beli kantor: misalnya gedung McDonald yang bangkrut. Ganti aja namanya jadi: Ayam Goreng Jalu. Apa pun itu. Saya pikir ayam goreng McD gak seenak ayam lokal, kok. Gengsi? Halah, apa kerennya makan makanan yang sebagian keuntungannya dipakai untuk mendanai negara penjahat perang.
Masih banyak lagi produk kedua negara itu yang bisa kita boikot. Dan harus konsisten. Upaya yang bisa kita lakukan dari sekarang, mulai dari diri sendiri dulu, sembari terus berkampanye ini tiap hari dalam perbincangan senggang yang ringan: sampo habis, beli ya, yang bukan buatan negara penjahat perang.
Jika mau berpikir sedikit jauh, momentum ini sebenarnya bisa kita pakai seperti pisau bermata dua: mengambil alih sektor-sektor produksi massal yang selama ini banyak dikuasai negara-negara sombong tengik itu. Misalnya saja: pasta gigi. Jadi seperti: memukul lawan, menangkan kawan. Dalam hal ini memukul ekonomi sekutu Israel, sekaligus membela Palestina.
Jangan salah. Tengok saja pasta gigi di rumah kita, sebagian royaltinya mungkin sedang ditransfer ke Israel sekarang. Maka Indonesia bisa hukum mereka dengan memberikan bantuan besar-besaran pabrik pasta gigi made in milenial Indonesia. Saya lihat mahasiswa UI ada bikin rasa permen. Keren kan?
Maka ke depan kita bisa lega melihat coca cola dan sprite di retail-retail modern berganti dengan Nyiur Perawan: minuman berbahan baku air kelapa lokal dengan sedikit soda. Di kemasan botolnya bergambar perawan desa di bawah naungan daun kelapa.
Jika saya pengusaha kaya raya, momentum ini adalah kesempatan emas untuk menodong pemerintah memboikot produk pesaing atas nama: kemanusiaan...
Tidak mudah memang, karena beberapa produk mereka sudah menggurita sampai ke pelosok desa kita yang tidak berlistrik. Tapi tentu saja, satu hal yang pasti: tidak ada yang tidak mungkin kalau kita berjuang dan bekerjasama! Seperti pekikan saudagar Bugis yang melegenda: Ewako!
Yang perlu kita ingat, boikot yang kita lakukan tidak ada kaitannya dengan urusan ras dan hal personal lainnya.
Tengoklah Nabi, yang menikahi putri musuhnya dari pemimpin Yahudi di Khaibar, untuk memberikan contoh perang Khaibar bukan urusan personal.
Perang bukan urusan personal. Ulah Zionis membom ribuan anak kecil di Gaza adalah kejahatan keji yang harus kita lawan. (*)
Posting Komentar