Biodiesel Haji Sam: Saingan Raps atau Merah Putih Tengah Nusantara

Haji Sam | FOTO: IST
Haji Sam meletakkan namanya di etalase pengusaha elit energi nabati. Maknanya bisa dua: kejar biji raps, atau merah putih tengah nusantara. Yang terakhir terinspirasi kisah pemuda Borneo berkendara ke Thailand demi mimpinya: mengecap wangi Pattaya.

ZAL, BATULICIN

Saya tidur setelah azan Subuh. Sudah kebiasaan. Bekerja di depan komputer ketika semua orang sedang terlelap. Dan ketika siang hari terjaga, dunia ternyata sudah berubah!

22 Oktober 2021 saya menulis tentang Haji Sam. Saat pertama dia mengukuhkan namanya di jajaran pengusaha biodiesel nasional: membuat pabrik kapasitas 1.500 ton B30 per hari. Ilmu yang dia dapat setelah menengok konstruksi industri biofuel biji bunga raps di Jerman.

Nah, rupanya diam-diam pabrik yang memerlukan sedikitnya 6.800 ton buah sawit sehari rupanya terus berinovasi. Diam-diam sebenarnya bukan kata yang tepat, saya beberapa kali melihat mobil perusahaan Jhonlin Group yang bertuliskan uji coba B50 berseliweran di Tanah Bumbu. Memang tidak diam-diam, yang tepat adalah kita yang tidak fokus: sibuk mikir ini itu.

Haji Sam: fokus. Dalam waktu tiga tahun soft launching penggunaan B50 oleh Jhonlin Group diresmikan sepupu Sang Haji, Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Foto-foto mereka ramai di grup-grup whatasapp siang tadi, seperti menampar wajah saya: tengok kau hanya tidur sekian jam, dunia sudah berlari kencang di depanmu.

Mengapa berlari kencang? Jika Anda belum akrab dengan dunia sawit, sehingga tidak memiliki gambaran bagaimana B50 memiliki peluang menjadi momentum percepatan ekonomi nasional, saya akan gambarkan pelan-pelan. Jadi begini...

Saat ini produk CPO, minyak mentah kelapa sawit, di dunia itu sebanyak 50 persen lebih adalah dari hasil sawit kita. Maksudnya sawit yang ditanam di Indonesia. Nah, dari 50 persen itu hanya segelintir sawit yang dimiliki orang lokal. Salah satu dari segelintir ini adalah Haji Sam. Ini juga mungkin menjadi faktor mengapa Sam begitu serius, nampknya dia ingin menjadi tuan di negaranya sendiri.

CPO itu ternyata dapat diolah menjadi bahan bakar mesin diesel. Pajero Sport salah satu yang bermesin diesel. Mesin PLN kita sebagian juga. Sebenarnya Kementerian Pertanian telah berhasil mengembangkan B100, tapi dalam tahapan produksi massal dan soal distribusinya, pilihan terbaik saat ini memang B50: solar dicampur dengan CPO dengan rasio satu banding satu.

Bahan bakar minyak dari genus elaeis ini disebut biodiesel. B30, B50 atau B100 adalah istilah teknis yang menggambarkan komposisi bauran energi terbarukan dan energi fosil.

Dunia mempercayai, bahan bakar nabati adalah salah satu jawaban kawah-kawah raksasa di masa depan. Energi fosil akan habis, jika manusia terus memaksa menguras sumber daya alam artinya mempercepat kiamat --ozon menipis, meteor mendekat. Begitu kira-kira.

Eropa dan Amerika kemudian mencoba melakukan dua lompatan. Sebagai pelopor lingkungan sekaligus pemain utama bisnis biosolar. Memperlambat kiamat kemudian menjadi iklan jitu mendongkrak penjualan biofuel ke warga negara mereka.

Hanya saja bahan baku mereka bukan dari sawit tapi dari biji-bijian seperti jagung, raps, bunga matahari, kedelai dan seterusnya. Untuk skala produksi, biji-bijian kalah efisien. Sebagai perbandingan, hasil minyak satu satu hektare sawit sama dengan hasil sembilan hektare kedelai.

Anda mungkin bertanya, mengapa Eropa dan Amerika tidak menanam sawit? Percaya kalau sawit lebih merusak daripada hamparan kedelai? Faktanya adalah, sawit hanya dapat berproduksi maksimal dengan iklim Asia.

Karena itulah, embargo CPO ke Amerika dan Eropa dianggap pemain sawit Indonesia sebagai kampanye jahat. Indonesia kemudian melawan. Mencoba meruntuhkan tembok tinggi pasar global dengan menyulap CPO menjadi bahan bakar. Indonesia percaya, kalau sudah jadi biofuel maka produk sawit akan sangat sulit diabaikan pasar dunia: berani banting harga!

Intinya adalah energi. Negara berlomba-lomba mandiri dan menguasai sektor ini. Perang yang sekarang terus terjadi di kawasan Timur Tengah telah kita percayai karena perebutan kilang.

Nah, sekarang tepat di tengah Nusantara sejarah kebangkitan energi coba diukir --kalau peta Indonesia dilipat empat, titik tengahnya ada di sekitar Kotabaru dan Tanah Bumbu.

Sebagai gambaran. Beban keuangan negara kita gegara impor solar kisaran 300 sampai 400 triliun. Itu menurut Amran Sulaiman pagi tadi di salah satu media online lokal. Kita kesampingkan dampak yang sudah jelas terjadi kalau nanti kita produksi massal B100. Karena bukan ini bagian menariknya.

Untuk masuk ke bagian kerennya, coba rangsang imaji Anda begini:

Di sebuah kampung kecil di Kalsel tinggallah seorang lelaki berambut panjang. Suatu hari dia berada di halaman belakang rumahnya memeras sawit, jadilah biodiesel. Puluhan liter dia jubelkan ke tangki mobil. Lalu dia pun berkelana keliling Borneo, asap knalpotnya beraroma sawit. Sampai perbatasan Malaysia biodiesel di tangki habis! Masuklah ia ke kebun sawit Upin dan Ipin meminta buah, dia peras lagi, jalan lagi. Setelah berjuang keras, tibalah juga ia di Thailand. Petani sawit muda dari pelosok Kalimantan akhirnya menggapai mimpinya: menghirup wangi Pattaya!

Mudah kan, membayangkan adegan-adegan besar lainnya dari sektor industri biodiesel sawit?

Haji Sam saat soft launching B50, Minggu 18 Agustus 2024 | FOTO: AGUS HASANUDIN FOR JURNAL BANUA
Ketika Haji Sam menerapkan B50 untuk korporasinya tepat sehari setelah perayaan kemerdekaan: mungkin inilah nasionalisme, inilah merah putih.

Perkara Sang Haji tambah kaya karena usahanya, itu persoalan yang lain. Kita kadang terjebak dengan pencapaian gemilang seseorang, lalu menilai semua sim salabim. Lupa melihat bagaimana proses sehari-hari orang-orang yang berhasil itu. Seperti telah saya sebut di awal, bisa saja ketika kita sedang tidur, orang lain sedang asyik mengubah arah sejarah.

Lalu, untuk penutup. Sebagaimana telah saya tulis sebelumnya, bahwa kekayaan Sang Haji terkadang memang menerbitkan iri. Tapi Tuhan memang adil, bahagia tidak melulu di sana. Tawa lepas Haji Sam yang membuat energinya lebur dengan sekelilingnya justru ketika saling kejar di medan lumpur dengan Rifat Sungkar. Tawa yang tidak saya temukan kesamaan vibesnya, bahkan ketika pabrik biodieselnya diresmikan orang nomor satu di negeri ini. (*)

*Penulis adalah pemuda yang bercita-cita membuat novel dan film setelah menyerah atas mimpinya membentuk band sekelas Kantata Takwa, namun lebih suka disebut petualang karena kecintaannya dengan travelling.


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar