Di Pelataran Rumah Rakyat

Penulis dan istrinya berpose di pelataran rumah rakyat DPRD Tanah Bumbu 26 Agustus 2024 | FOTO: ISTIMEWA
Lagu Indonesia Raya menggema di gedung parlemen Bumi Bersujud. Saya genggam erat tangannya. Di jari-jemari yang kecil itu, saya tumpahkan semua perasaan. Haru, harapan, semangat, beban tanggung jawab tindih menindih. Saya umpama lelaki lemah meminta penguatan kepada kelembutan perempuan: Dinda, ingatkan saya terus setia dengan cita-cita.

ANDI RUSTIANTO*

Senin 26 Agustus menjadi salah satu momentum penting dalam perjalanan hidup saya. Pagi-pagi saya sudah berangkat dari rumah ke gedung rakyat itu. Dalam mobil, saya dan istri lebih banyak diam. Berbagai persaaan berkecamuk. Senang, gugup, semangat, semua campur aduk. Sulit saya menggambarkan perasaan apa yang paling dominan saat itu.

Sampai di rumah rakyat, yang seingat saya selalu berubah warna ketika peralihan kekuasaan kepala daerah itu, teman dan rekan yang sama-sama diberi amanah yang sama sudah banyak datang. Saya berjabat tangan dengan mereka satu per satu. Saya sudah tahu, tahun ini banyak wajah baru, dan banyak orang mudanya, generasi milenial.

Salah satu generasi milenial yang periode sebelumnya sudah jadi anggota parlemen adalah Andi Asdar. Dia rupanya sudah biasa, tenang sekali. Ketenangannya itu sedikit banyaknya membantu mengurangi rasa gugup saya. Sesekali jokenya keluar dan membuat saya tertawa lebar.

"Selamat datang di barisan orang-orang yang harus tahan mental dicaci rakyat," ujarnya, membuat saya terkekeh.

Tapi, jujur, pengalaman saya sejak kecil dengan dunia birokrasi paling banyak membantu saya cepat berapdatasi dengan jas dan dasi.

Ayah saya, seperti kalian tahu adalah mantan ASN di Tanah Bumbu. Dia meniti karirnya dari bawah. Saya masih ingat, Ayah saya dahulu, ke kantor naik sepeda motor tua. Jika sekarang memejamkan mata, saya masih bisa mengecap aroma minyak rambutnya yang banyak dijual di pasar kala itu. Hingga kemudian bertahun-tahun kemudian, ketiak saya sudah dewasa, karir dan takdir Ayah mengantarnya ke dalam tanggung jawab yang jauh lebih besar, menjadi wakil bupati. Sekarang dia sedang mengikuti kontestasi Pilkada di Tanah Bumbu. Ya, dia adalah H Muh Rusli.

Dari pengalaman Ayah saya itulah, dari kisah-kisah yang dia bawa pulang ke rumah, saya sedari kecil secara otomatis menjadi akrab dengan dunia birokrasi, lalu kemudian politik. Saya melihat dari dekat, bagaimana politik itu bekerja. Ternyata dia adalah sarana yang sangat ampuh. Ekonomi bahkan nasib rakyat satu daerah lima tahun ke depan, sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan elit partai.

Saya melihat sendiri, bagaimana seorang kepala daerah menjadi kaya raya karena memanfaatkan kekuasaannya. Sebaliknya, ada juga pejabat yang begitu-gitu saja, karena setia dengan cita-cita dan aspirasi rakyat yang dia pegang teguh. Hitam putih dampak dari kebijakan politik, adalah salah satu warna yang dekat dengan keseharian saya.

Sehingga, sekitar beberapa tahun silam, ketika teman-teman meminta saya masuk ke KNPI dalam rangka mengembangkan diri dan mematangkan visi politik, saya langsung berkoordinasi dengan istri. Saya percaya, istri adalah teman yang paling jujur dalam mengadu argumen dan memetakan alasan tujuan hidup saya. Saya percaya, ketika perempuan bercadar ini memberikan saran atau kritik, tidak memiliki kepentingan apa pun, selain memberikan yang terbaik buat saya. Dia yang lebih tahu apa dan bagaimana saya. Dan seperti bisa Anda duga, istri saya merestui langkah awal saja terjun ke dalam politik muda di KNPI.

Di organisasi ini saya belajar banyak sekali dari para senior. Saking banyaknya, jika saya tulis satu per satu nama mereka, akan sangat panjang tulisan ini. Saya berterimakasih atas kebaikan, ketulusan dan kesediaan mereka memberikan waktunya agar saya terus bertumbuh dan berkembang.

Dari KNPI pulalah saya kemudin mengalami langsung rasanya ruwetnya birokrasi pemerintahan. Saya bersinggungan dengan konflik kepentingan antara pejabat, antara pengurus partai dan seterusnya. Saya merasakan sendiri betapa beratnya memperjuangkan anggaran untuk anak muda. Berat karena, anggaran secara umum diakomodir berdasarkan kepentingan golongan. Saya tidak bilang ini selalu terjadi, tapi sering sekali.

Berangkat dari pengalaman-pengalaman tersebut, saya sadar satu hal. Bahwa dalam politik berlaku satu hukum: semakin banyak orang yang harus kita perjuangkan harus semakin besar pula power kita. Maka jika itu dalam rangka memperjuangkan barisan anak muda, apalagi barisan pemuda Tanah Bumbu, salah satu caranya saya pikir adalah dengan masuk ke parlemen. Tentu bukan satu-satunya cara, tapi saya memilih ini.

Man jadda wajada!

Singkat cerita, saya lalu terjun total ke politik. Bergabung dalam barisan PAN. Saya mungkin diuntungkan dengan posisi Ayah saya yang saat itu menjabat sebagai wakil bupati. Saya tidak memungkiri kalau sosok beliau memberikan saya kemudahan akses pertemanan dan jaringan. Hanya saja, kalau itu disebut keuntungan, itu tentu menjadi bagian dari hidup saya yang tidak dapat saya hindari. Saya tidak bisa memilih menjadi anak siapa, dan tidak bisa memilih siapa ayah saya.

Yang perlu saya tekankan, di keluarga kami, ada prinsip harga diri yang dipegang kuat. Siri, begitu bahasa pesisirnya. Siri adalah harga diri. Saya sedari kecil dididik dengan falsafah itu. Siri membuat kami malu menyebut nama keluarga yang berpangkat, jika hanya untuk membuat kami tampil berbeda lalu membusungkan dada. Kami dididik untuk sukses di atas keringat dan kerja keras sendiri. Walau tentu koneksi famili sedikit banyaknya berimbas kepada karir saya. Saya tidak bisa memilih untuk yang terakhir ini. Tapi kalau ke politik, berjuang di sana, bisa saya pastikan, saya menggunakan semua energi, waktu dan finansial yang saya miliki.

"Gak papa anak muda, silakan pakai halaman saya. Pasang saja baliho Anda di sana," suara seorang rekan senior saya di PAN dalam sambungan telepon. Ya, kontak sana-sini, memasang baliho sendiri. Kemudian menyebarkan gagasan saya ke komunitas-komunitas pemuda di Tanah Bumbu.

Tiap hari saya kerja, mencari popularitas, mendulang elektabilitas. Jurnalis-jurnalis yang saya anggap memiliki gagasan yang sama, juga saya hubungi. Tidak pernah sekali pun saya membawa nama Ayah saya. Padahal kalau saya mau, tentu bisa. Tapi sekali lagi, harga diri saya dipertaruhkan kalau memanfaatkan nama besarnya. Saya ingin, nanti di masanya, Ayah saya memegang pundak saya dan berkata: terima kasih telah tumbuh menjadi ksatria.

Saya berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Membawa gagasan, membawa bantuan, semua saya lakukan. Saya fight, dalam artian sebenar-benarnya. Dapil satu kata orang adalah dapil neraka. Ya, itu semua benar. Orang-orang yang berlaga di sini sudah memiliki nama besar, Andi Asdar salah satunya. Maka tidak ada cara lain untuk memenangkan simpati rakyat selain mengetuk setiap pintu rumah mereka.

Selama berkampanye terbatas yang hampir tiap hari saya lakukan, saya melihat dari dekat wajah rakyat Tanah Bumbu. Setiap pulang dari rumah warga, saya hampir selalu insomnia. Istri saya dengan sabar mendengar semua cerita saya di lapangan, mendengar kegelisahan saya, sekaligus mendoakan semua harapan-harapan saya. Sekarang saya baru sadar, sepertinya dia selalu tidur lebih lambat daripada saya, dan bangun lebih awal.

Tibalah di pagi hari pelantikan. Dan manakala lagu Indonesia Raya dikumandangkan, saya hampir tidak dapat menahan tangis. Semua wajah rakyat remaja yang kekurangan literasi tergambar di benak saya. Kita ini bisa mengejar ketertinggalan, kita bisa membuat para anak muda bahagia dengan membuatkan sarana dan prasarana seni, sastra, dan industri kreatif bagi mereka. Tapi kita memang terkadang melupakan, bahwa anak muda sekarang lah yang nanti akan memimpin Tanah Bumbu di masa depan. Kita kebanyakan memikirkan diri sendiri.

Dalam bayangan saya, Tanah Bumbu nanti ada bioskop besar di Pagatan, sekaligus gedung teater, musik dan perpustakaan. Semua monumen itu menjadi rumah besar para pemuda Tanah Bumbu meletakkan gagasan dan karya-karyanya. Lalu juga ada universitas. Ada tiga kota yang selalu saya bayangkan untuk garis masa depan daerah ini. Mereka adalah Malang, Bali dan Jogyakarta.

Maka di akhir tulisan ini saya meminta, mari kita bersatu. Jangan pernah sungkan mengkritik, mengingatkan saya dengan semua cita-cita awal yang telah kita sepakati. Baik secara langsung atau tidak. Karena saya meyakini, semua pemuda Tanah Bumbu memiliki keinginan yang sama: daerah ini harus tumbuh dalam bingkai yang indah. (*)

*Penulis adalah anggota DPRD Tanah Bumbu periode 2024-2029

Kirimkan tulisan Anda ke email redaksi: jurnalbanua19@gmail.com


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar