Festival Layang Pagatan, Tarian Kepercayaan Diri dari Pesisir

TARIAN UDARA: Seorang penerbang layang-layang menari dengan iringan angin dan latar warna-warni wau di langit Pagatan | FOTO: JURNAL BANUA
Sudah dua tahun festival layang-layang mengudara. Kabar itu diterbangkan angin pesisir Pagatan hingga ke manca negara. Harapannya, bukan tarian warna semata, tapi arus kepercayaan diri para pewaris salah satu kekayaan tertua dunia.

ZAL, BATULICIN

Sudah dua hari festival layang-layang internasional di langit kota pejuang Pagatan. Rambut putih-blonde menjadi mainan baru anak-anak pesisir. Pantai yang biasanya dominan biru, kini semarak dengan warna.

Berada di ujung tenggara garis pantai Borneo, Pagatan nampaknya berupaya membawa aroma pendapatan daerah yang sukses digelar di Bali. Walau kekurangan di tahun sebelumnya tampaknya kembali terulang, promosi yang saya pikir agak telat. Tenang, masih ada peluang momentum serbuan pengunjung akhir pekan: parade dandang.

Dandang adalah layang-layang yang bisa berdendang, alias bersiul. Karena ada bilah bambu tipis yang bergetar bersama angin. Klaim asal-usul layang-layang ini saling tumpang tindih antar daerah. Warga pesisir Kalsel percaya itu dibawa dari Sulawesi, dan sebagian percaya itu dari Tapin. Kalau dari Sulawesi namanya layangan bulan atau lake. Bentuknya mirip dan sama bisa bernyanyi.

Layang-layang ditemukan dalam dokumen dari Tiongkok sekitar 2.500 tahun sebelum masehi. Tapi bukti tertua justru ada dalam lukisan di Gua Sugi Pulau Muna, Sulawesi Tenggara sekitar 4000 tahun lalu. Dari sini dipercaya layang-layang kemudian menyebar ke Cina lalu masuk Eropa. Sejalan dengan prosa terpanjang dunia milik Bugis, I La Galigo, yang mengatakan Sulawesi dan Cina dahulu satu wilayah.

Layangan tertua di dunia itu, yang dari Muna, namanya adalah Kaghati Kolope. Terbuat dari daun umbi kolope (gadung), daun bambu dan serat nanas yang dijadikan tali. Klaim layangan tertua ini dimuat dalam penelitian yang ditulis Wolfgang Bick pada 1997 silam.

Adalah Sam, begitu dia menulis nama di dadanya. Kadis Pariwisata Tanah Bumbu ini yang pertama menggagas festival layang di Pagatan. Dia memang tumbuh besar di kota pejuang. Ketika mendapat amanah mendongkrak wisata Tanah Bumbu, ide ini salah satu yang langsung coba dia realisasikan.

PERCAYA DIRI | FOTO: JURNAL BANUA
Samsudin nama lengkapnya. Lelaki yang pandai mengaji itu di 2023 sukses membawa masuk beberapa pemain layang-layang sekala internasional. Salah satunya adalah Ali dari pelosok India. Mantan tukang las yang sekarang asyik keliling dunia dengan wau ini sempat memuji keindahan pantai Pagatan. Cuma satu yang dia sesalkan: sampah. Selebihnya keren, termasuk senyum ramah warga Pagatan.

"Pelan-pelan. Yang jelas satu momentum telah kita capai, dapat tempat di hati pegiat layang-layang internasional," ujar Sam kepada penulis sore tadi.

Dia tidak mengelak, masih banyak yang harus dibenahi. Namun katanya, seolah mengajak beralih fokus, satu kelebihan Pagatan, dan itu dia anggap faktor utama: perangkat lunak Pagatan sudah siap sejak lama. Perangkat lunak di sini maksudnya warganya.

APRESIASI : FOTO: JURNAL BANUA
Pagatan ujarnya, sejak lama sudah akrab dengan wisatawan, bahkan yang berambut blonde. Dahulu ceritanya, ada sepasang suami istri dari Australia --dia mengaku kurang ingat persis asal pasangan bule itu, sudah dianggap jadi bagian keluarga Pagatan: saking akrabnya. Samsudin menekankan itu sebagai salah satu indikator keterbukaan sikap pemikiran orang-orang pesisir. Lanjutnya, pasangan pelancong tersebut memilih lama di Pagatan karena menyukai senyum penduduk dan energi pantainya.

Samsudin berharap, Pagatan ke depan menjelma jadi kota yang indah. Wista dan seni menjadi payung yang menaungi keseharian warganya.

NAGA LANGIT PAGATAN | FOTO: JURNAL BANUA
Salah satu guru di Pagatan, Muzakir kepada penulis mengatakan, kalau kota pesisir ini menjadi wadah yang tepat mengembangkan industri kreatif berbasis seni dan sastra. Dia juga memiliki pandangan yang sama, kalau perangkat lunak warga Pagatan mudah dibawa ke sana.

Pagatan memang bukan sekadar kota. Tempat ini adalah masa depan. Bagi penulis, Pagatan tak cukup hanya dengan tarian layang-layang, tapi di sinilah lahir musik-musik bernas, dan sineas-sineas cadas. Bukan semata mencari laba, tapi berpihak lebih keren lagi: sebagai tungku kepercayaan diri anak Banua. Mental keberpihakan masa depan ada di denyut nadi Pagatan, pewaris semangat 7 Februari.

Maka ketika tarian warna Pagatan sudah begerak ke sana, menyusul keindahan Murjani Senja yang sudah lebih dahulu merona, lalu simpul serupa ada di Loksado atau Tabalong, kita pun bisa sedikit lega anak-anak bermain di luar. Pagar literasi sedikit banyak menjadi bingkai berpikir mereka. (*)

PAKCIK | FOTO: JURNAL BANUA


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar