Kisah Kang Jambul dan Babi Berkalung

Kang Jambul saat beraksi menangkap babi di pedalaman Kalimantan | FOTO: DOKUMEN PRIBADI
Akhir minggu ke empat bulan Agustus 2024, saat suasana pancaroba. Teman saya yang baru saja resign dari salah satu proyek di IKN datang ke rumah. Namanya Nandar, wajahnya khas Jawa. Tinggi kurus.

Yuri Muryanto Soedarno*

Dia bercerita suka duka sebagai buruh dari salah satu perusahaan pada pembangunan embung bandara.

"Jauh dari anak istri, dan airnya saya gak tahan. Air untuk masak dan minum beli, tapi untuk mandi dan lainnya gak tahan saya," ujarnya dengan logat medok.

Saya perhatikan wajahnya, jelas letih yang dalam, saya pun memiliih percaya. Ya sudah biasa, beberapa sahabat datang mengisahkan kisah sedih, tahu-tahunya modus belaka: minta ayam bangkok saya untuk dibawa pulang.

Yang jelas, beberapa bulan waktu pamit sama saya, muka bersih sawo matang itu tidak terlihat blontang-blonteng. Tapi saat bertemu itu, banyak berhias pulau-pulau panu di wajahnya. 

Seperti bisa membaca pikiran saya, dia menimpali, "Ini sudah berkurang Mas, setelah beberapa minggu saya obati terus," sembari tersenyum. 

Tak lama kemudian bertandang juga seorang teman. Lagi-lagi Jawir, namanya Trisno. Perawakannya seperti bangsa priyayi di keraton, tinggi putih bersih tenang. Tapi dia bukan raden mas, melainkan sarjana teknik alias insinyur. Berkebalikan dengan penampilan biasanya, kali ini dia datang membawa energi perang. Dia sewot besar.

Si raden mas, eh, insinyur ini wajar meradang. Belum lama tadi dia mencoba peruntungan baru, biasanya menanam pondasi proyek bangunan, sekarang menanam sayur dan palawija. Ada juga pisang, jambu kristal dan kawan-kawannya. Tapi semua ringsek, porak poranda!

Yang paling dia sewot adalah, pohon aren genjahnya yang masih kecil kecil (sekitar umur pindah tanam ke lahan) diinjak-injak dan  dimakan serta dijadikan mainan oleh parade babi hutan. 

Mendengar cerita itu, saya lupa pulau di wajah Nandar. Saya dan dia --Nandar maksudnya, sama berempati dengan nasib si kulit priyayi. Masalah panu jauh lebih kecil ketimbang masalah tanaman didoser babi hutan. Jelas itu.

Nandar lalu menyarankan untuk bertandang ke tempat Kang Jambul.

Konon Kang Jambul adalah salah satu dari legenda kepiawaian sang pemburu babi. Teknik dan strategi berburu para legenda yang dari hari ke hari semakin sedikit jumlahnya ini kata sahibul hikayat adalah warisan turun-temurun. Ilmu langka.

Lalu, dengan rasa penasaran ingin tahu. Jadilah saya ikut juga mencari tempat tinggal pemburu tersebut. Kami berkendara mencari orang itu, pakai SUV, dobel gardan. Trisno bilang, kalau ketemu babi mau dia tabrak. Marah beneran rupanya. Padahal setahu saya, dia orangnya lembut, anak mapala pula, harusnya penyayang hama. Kebun yang mendadak hilang di depan mata, mampu membuat karakter orang berubah sekejap mata.

Kami pun berjalan. Setelah kurang lebih dua kali menanak nasih pakai kayu bakar, akhirnya kami bertiga bertemu Kang Jambul, yang kala itu sedang bersilahturahmi di rumah tetangganya, Mbah Suto. Tempat tinggal mereka di tengah hutan yang terpaksa saya rahasiakan tempatnya karena permintaan tuan rumah.

Suguhan kopi hitam panas yang masih mengepul, dihidangkan untuk kami nikmati.

Rupanya sudah puluhan tahun Kang Jambul ini menggeluti aktivitas berburu babi. Dagingnya dijual kepada yang mau menikmatinya. Saya ingat di Banjarmasin ada beberapa warung yang memasak menu mbab ini. Kalau gak salah di daerah Veteran. Ada teman saya suka ke sana, katanya lupisnya enak sekali. Dia hanya peduli pada lupis yang bisa membuat mata merem melek, dan masak bodoh dengan piringnya.

Di depan Kang Jambul, Trisno kembali membara. Dia berapi-api menceritakan hari kejadian kebunnya luluh lantak tak bersisa. Seperti negara air yang hancur diserang negara api. Atau seperti tentara Mongol yang meruntuhkan dinasti Abbasiah. Kebun yang hancur itu menjadi luka di lidah Trisno.

"Saya tahu lokasi kebunmu itu," ujar Kang Jambul pelan. Seolah mau mengatakan: sudah tenang dulu, nanti kubereskan. Nada pelan Kang Jambul itu rupanya mujarab. Api Trisno perlahan mengecil. Lalu dia kembali ke jati dirinya, lembut ala priyayi.

Ternyata sudah banyak juga lokasi pengganggu kebun yang telah dijelajahi oleh Kang Jambul. Lembah Gunung Jambangan, Gunung Pasar, Gunung Hantu alias Tengkorak, Sungai Buah, Labuan Mas dan lainnya. Serta beberapa lokasi di lembah pegunungan Meratus serta lokasi lokasi lainnya di Pulau Kalimantan. 

Dalam perburuan dia terkadang melakukannya sendiri atau ditemani beberapa anjing peliharaannya. Bisa juga dengan beberapa teman. Para pemburu ini ternyata memiliki banyak grup. Mereka saling terafiliasi lewat para petani dan rumah makan tertentu. 

Besar dan kecilnya tim perburuan, tergantung dari gambaran lokasi serta informasi awal yang diterimanya. Layaknya kopasus, apakah perlu satu peleton atau cukup menghabisi sarang lawan dengan segelintir pasukan elit saja. Dan kalau memang ada faktor khusus, maka dia bisa juga sendirian berburu ala Rambo.

Dalam perburuan, bisa dengan pola base camp menetap, atau base camp berpindah. Apapun pola perburuan tersebut, tentunya, diperlukan pula keahlian membaca jejak dan mengetahui tabiat hewan buruan tersebut. Juga cara membuat jebakan, membaca arah angin. Buanyak pokoknya. Beberapa teknik Kang Jambul minta dirahasiakan lagi.

Selain perburuan di hutan dan perkebunan, bisa juga dilakukan di pemukiman. Benar-benar mirip film Rambo.

Mbah Suto yang dari awal banyak diam, lalu angkat suara. Ternyata dia adalah salah satu dari anggota tim elit. Kata Suto, dia pernah tersesat saat hujan di lembah hutan, dan mendapati pondokan. Karena hujan dan kelelahan serta kurang tidur, mereka beristirahat dan akhirnya terlelap di pondok tersebut. 

Pagi harinya begitu terbangun, persis di film-film horor: pondok itu sudah tidak ada, yang ada hanya pohon besar dengan puntung rokok bertebaran serta parang tergantung dan tombak tersandar di pohon tersebut.

Mendengar itu, Nandar lalu meminta Jambul menceritakan pengalaman mistis serupa. Hilang sudah empatinya kepada Trisno, berganti jadi pria yang kegandrungan cerita horor. Saya seketika mengutuk pulaunya.

Terbawa suasana, Jambul bercerita, dia pernah melihat babi yang berkalung di lehernya. Kalung yang dia percaya berasal dari dunia yang lain. Seolah babi itu memiliki kalung karena keinginannya sendiri. Kalung itu umpama penanda kalau babi itu bukan sembarang babi.

Jambul pernah dapat batu yang kata orang adalah buntat babi. Batu itu dia peroleh setelah sukses menggorok lehernya. "Gak tahu batu apa itu. Tapi yang jelas, babi yang berkalung waktu itu tepat ada di depannya," ujarnya.

"Apakah benda yang dibawa babi berupa kalung itu, yang disebut rantai babi, dibawa dengan digigit atau berada di leher?" Kali ini giliran Trisno yang bertanya. Rupanya dia sudah mulai melupakan kebunnya yang musnah.

"Saya melihatnya di leher babi, bendanya bukan digigit. Kalau rantai babi saya tidak punya, tapi hanya pernah melihatnya saja. Waktu saya tombak babi yang berkalung, tombak saya pun mental, dan babi itu terus berlari ke dalam hutan," balas Jambul membuat Trisno terkesiap. Cerita terus berlanjut, masih seputaran metafisika babi kalung kebal tombak.

Tanpa sadar kami pun mulai melupakan api permusuhan dengan babi-babi itu. Musuh yang mengubur impian seorang teman memanen pelbagai macam sayur dan buah-buahan.

Habis cerita, habis kopi, kami pulang.

Esok harinya Trisno menelepon.

"Mau daging hasil panen kebun?"

"Maksudnya gimana Bro? Kurang jelas!"

"Maksudnya, Kang Jambul berhasil menangkap dua. Ada lima, tapi dua saja yang bisa ditangkap. Kayaknya yang tiga pakai kalung!"

*Yuri akrab disapa Ceppe atau Utuh Iyur : alumni FISIP ULM, salah satu pelopor MPA Fisipioneer, pernah mengajar di beberapa Perguruan Tinggi, kadang menulis tentang lingkungan, traveling (petualangan), bisnis, cerpen, puisi, serta menyikapi fenomena sekitar.

Kirim tulisan anda ke email: jurnalbanua19@gmail.com


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar