Belum lama tadi saya berkesempatan bertemu rekan-rekan jurnalis. Saya tergelitik dengan pertanyaan mereka, yang menyoal jargon "loyalitas tanpa batas".
"Anda ingin bawahan setia dan melaksanakan perintah tanpa menggunakan nalar mereka?," tanya seorang jurnalis.
ARIEF PRASETYA |
Karena sudah lama bergaul dengan barisan pemikir kritis ini, saya tidak terkejut dengan pertanyaan menohok begitu. Para jurnalis profesional Banua yang saya kenal dekat memang terbiasa berbicara apa adanya, tanpa bunga atau bumbu di sana-sini. Mereka lugas, tanpa tedeng aling-aling. Jurnalis yang baik saya pikir memang mereka yang mampu melepaskan kepentingan pribadinya dalam melihat atau bersikap atas setiap fenomena atau tanya yang menggelisahkan kepala mereka.
Loyalitas adalah kesetiaan yang kuat. Tak terbeli bahkan dengan uang. Loyalitas berada di kasta tertinggi dari hirarki kepatuhan.
Loyalitas tanpa batas di kepolisian maknanya ada dua. Pertama loyalitas terhadap institusi, nama baik dan harga diri kesatuan. Dalam rantai komando loyalitas memegang peranan penting, dia menjadi kunci utama keberhasilan kegiatan lapangan. Tanpa rantai komando yang kuat, tindakan teknis lapangan sangat mungkin melenceng dari misi awalnya.
Kedua, dan ini yang terpenting: loyalitas kepada kepentingan rakyat. Ini tidak bisa ditawar-tawar. Dia menjadi suluh dari semua persinggungan kepentingan. Ketika kita menemukan jalan buntu dalam memutuskan mana yang terbaik, maka kita harus kembali kepada apa yang terbaik buat rakyat.
Tidak seperti dugaan yang tersurat dalam pertanyaan menohok jurnalis di atas. Ada perbedaan tegas antara taklid buta dan ittiba'. Loyalitas tanpa batas bukan kami maksudkan agar bawahan setia membabi buta kepada atasan. Tapi mereka harus setia tanpa pamrih kepada institusinya dan juga rakyat melalui serangkaian argumen kuat dengan rujukan "kitab" UUD 1945.
Lalu mengapa mantra ini harus terus kami gaungkan di kepolisian. Alasannya sederhana, sebagai pengingat bahwa kami para polisi punya tanggung jawab terhadap institusi dan juga masyarakat. Keduanya saling berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri.
Institusi tanpa kepercayaan masyarakat akan runtuh. Sebaliknya, mengatur masyarakat memerlukan sistem dan tatanan yang telah disepakati founding father kita. Masyarakat yang dibiarkan tanpa aturan dari perlindungan hukum yang adil, saya pikir inilah yang terjadi di era suram peradaban perbudakan.
Kita persempit lagi, sebagai polisi, maka tugas utama kami adalah menjaga kamtibmas. Semua potensi gangguan sekecil apa pun itu, harus kami tanggulangi sejak dini. Terkait praktik lapangannya, saya harus adil, memang terkadang masih jauh dari kata sempurna dalam beberapa kasus. Saya pikir itu tidak dapat dihindarkan, semua kembali kepada kualitas SDM kita secara kolektif.
Untuk itu, kami terus berupaya menjadi polisi yang terbuka. Terbuka pemikiran atau tindakannya. Ide atau masukan dari siapa pun akan kami terima dengan dada yang lapang. Itu mengapa secara berkala saya berkumpul dengan orang-orang dari beragam kalangan.
Kembali ke topik, loyalitas tanpa batas sederhananya adalah denyut nadi kami dalam bertindak. Saya mempercayai, hanya dengan loyalitas misi bersama dapat dijalan secara maksimal. Peradaban membuktikan itu. Tengoklah sejarah tim pasukan elit yang dicatat sejarah kita. Generasi Samurai dan pelindungnya Hattori Hanzo Masanari sekian dari banyak catatan yang tertinggal. Loyalitas tanpa batas bukan barang baru, dia sejatinya adalah warisan peradaban yang mungkin telah kita lupakan.
Loyalitas tanpa batas juga umpama suluh kami dalam memutuskan langkah. Ketika di lapangan dihadapkan pada situasi yang dalam setiap pengambilan keputusannya, maka kami akan kembali melihat keputusan mana yang bertolak dari semboyan itu tadi. Mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak, tapi masa depan institusi dan rakyat itu di atas segalanya.
Loyalitas tanpa batas: tidak ada kompromi jika menyangkut keselamatan rakyat dan harga diri institusi.
*Penulis adalah perwira polisi dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP). Sekarang menjabat sebagai Kapolres Tanah Bumbu
Posting Komentar