Penulis dalam sebuah kegiatan pameran lukisan | FOTO: DOK PRIBADI |
MISBACH TAMRIN*
Sebagai anggota Sanggar Bumi Tarung (SBT), saya kini hanya tinggal sendiri dalam kesendirian. Menanti giliran sampai waktunya, di mana "kepergian" mau tak mau adalah keniscayaan. Begitu sederhana dan logis yang akan saya hadapi.
Semua kawan-kawan telah pergi. Pekik disusul Amrus terbang ke langit imajiner, dengan lambaian tangan selamat tinggal. Meninggalkan yang tersisa kami berdua, Gumelar dan saya. Dan Gultom lebih mendahului 5 tahun yang lalu, tanpa kami ketahui sebelumnya.
Kami berdua, Gumelar dan saya, secara bersama tampil di Pameran SBT ke lima, singkatan Sampai Batas Tarung, di terminal terakhir. Di Galnas Jakarta, tempat pameran yang sangat kami kenal dan hapal sekali. Seperti kekasih, selalu dekat di hati, walau jauh di mata.
Kali ini beda, dimeriahkan oleh derap lagu dan nyanyi ansambel paduan suara "Dialita". Dengan barisan para biduan ibu berusia diatas 50 tahun, berbaju merah menyala. Bersama kehadiran komunitas generasi para perupa muda yang mendampingi para seniman perupa SBT, selaku generasi tua, dalam pameran kolektif ini.
SBT bukan lagi singkatan Sanggar BumiTarung diujung akhir eksistensinya. Memang sebuah ironi atau semacam katarsis dari emosi yang terpendam. Nama sanggar temuan Amrus Natalsya di tahun 1961 itu, yang pada mulanya bagi kami, terasa bombastis. Tapi, lama kelamaan kami senangi dan merasa bangga punya sanggar sehebat SBT. Apalagi pengamat senirupa Agus Dermawan T. pernah bilang: " SBT terdengar sangat seksi!"
Gumelar di atas kursi roda berada di sisi saya. Kami bersama menutup tamat SBT selama berkiprah 63 tahun. Lagi-lagi di Galnas, begitu sering kami berpameran di sini, telah berkali-kali. Sudah yang kelima kalinya, ditambah pameran tunggal Djoko Pekik 2012 dan saya sendiri tahun 2015, SBT berpameran di Galnas. Serta di sini pula pameran kami terhenti dan berakhir.
Tak terelakan keniscayaan hidup manusia atas takdir nasib seorang Gumelar. Sketser yang terkenal dengan buku kumpulan sketsa "Dari Kalong Sampai ke Pulau Buru"-nya di tahun 2006. Telah tiba juga waktunya menyusul kawan-kawan yang terdahulu pergi buat selamanya. Ia telah mendahului saya.
Mereka komunitas yang pernah berjaya di masa lalu, para anak-anak bangsa progresif revolusioner, pengagum dan pengusung Bung Karno sebagai pemimpin besar revolusi. Dengan bangga kami mahasiswa ASRI mendirikan SBT tahun 1961 di Gampingan Yogyakarta.
Sebagai pertanda solidaritas kami atas kehangatan semangat situasi politik dari sistem Demokrasi Terpimpin ajaran Bung Karno pada waktu itu. Di mana Indonesia tampil sebagai mercusuar yang menyinari gerakan revolusioner dunia Asia, Afrika dan Amerika Latin, selaku kubu The New Emerging Forces berhadapan dengan kubu The old established Forces di era awal Perang Dingin ketika itu.
Namun, di Tragedi Nasional 1965. Lewat G30S, dampak hasil konspirasi di antara CIA dan kekuatan militer sayap kanan, yang telah menumbangkan kekuasaan Bung Karno melalui kudeta merayap dan merangkak.
Misbach Tamrin |
Jadinya, mereka semua bisa disebut para petarung yang gagal. Menjadi pecundang yang kalah dan disalahkan. SBT dibubarkan oleh rezim yang berkuasa setelah kudeta, di mana kiprah juangnya hanya sempat berumur 4 tahun (1961-1965). Dan mereka pun semua masuk penjara sebagai tapol, dalam waktu yang tak terukur.
Ada yang dibuang di kamp konsentrasi gulak tropis Pulau Buru yang meranggas. Mereka adalah Isa Hasanda, Adrianus Gumelar, Gultom, Sudiono, Suroso dan Victor Manurung. Mereka benar-2 petarung yang nyaris tak mungkin bisa terus hidup dan lolos dengan bebas untuk sempat kembali ke masyarakat.
Ada yang tewas menjadi korban pembantaian massal. Mereka adalah Harmani, Haryatno, ketika pulang di kampung halamannya Tulung Agung (Jawa Timur). Dan Mulawesdin Purba, di Siantar, Simalungun (Sumatra Utara). Mereka telah kehilangan pertanda, entah di mana kubur mereka.
Kenapa semua itu bisa terjadi menimpa mereka? Jawabnya, hanya karena mereka seniman perupa SBT, anggota Lekra. Hanya karena mereka pengagum Bung Karno yang progresif revolusioner. Hanya karena mereka membela kaum buruh dan tani sebagai soko guru revolusi. Dalam melawan penindasan dan ketidakadilan kapitalisme dan feodalisme.
Mereka rata-rata terbenam selama belasan tahun dalam kerangkeng rezim Orde Baru. Disiksa lewat interogasi yang keras dan mengenaskan. Kebanyakan sebagian dari mereka dikerja paksakan di bawah sengatan terik matahari tropis. Sehingga kulit tubuh mereka bagaikan logam tembaga yang mengkilap berminyak keringat. Dengan tenaga yang terkuras, tanpa harus merasa lelah yang dipaksakan.
Para tapol peristiwa '65 umumnya diperlakukan melalui pelanggaran HAM berat yang tidak manusiawi. Semua itu meninggalkan jejak traumatis yang panjang. Begitupun nasib para tapol SBT setelah mereka dibebaskan. Terasa membekas begitu dalam hingga menggelimangi dengan getir di atas kanvas karya-karya lukisan mereka.
Tema-tema penderitaan dari perlakuan yang kejam rezim penguasa menjelujuri lewat warna-warna suram dan murung yang menyayat. Tadinya tertutup dan tersimpan dalam kevakuman tanpa terungkapkan dalam karya. Karena ketakutan yang traumatis? Bisa jadi.
Kecuali setelah Amrus Natalsya berkata dalam lecutan yang menghentak! "Jika kawan-kawan tetap bungkam tak mau melukiskan penderitaan dan kekejaman selama kalian ditahan, lebih baik jadi kerbau saja!"
Selanjutnya, sesudah era Reformasi 1998 mereka bisa berkarya kembali relatif dengan bebas. Mereka menaati kritik Amrus, bahkan terdorong lebih berani menyatakan diri berbicara secara visual lewat kanvas-2 mereka.
Amrus dengan karakter kepemimpinannya yang militan dan berwibawa. Telah memberikan contoh lewat karya-karyanya yang punya daya kritisi sosialnya yang kuat dan berbobot revolusioner, bahkan disaat sebelum peristiwa '65.
Perlawanan kaum tani dalam karyanya "Peristiwa Djengkol"(1961), membawakan korban mereka yang puluhan tewas diberondong tentara yang dipimpin Mayor Hambali, selaku mitra bayaran perusahaan pabrik Gula Ngadiredjo yang mengklaim tanah garapan kaum tani adalah milik mereka.
Di sini, Latini bersama bayi dalam kandungannya rubuh secara mengenaskan ditembus peluru. Dan seorang anak gadis petani menjadi buta kehilangan sepasang matanya.
Begitu pula dalam karyanya "Melepas Dahaga di Kolam yang Bening", Amrus melukiskan betapa seorang petani tebu yang kehausan terpaksa menundukan kepala dan mulutnya menghirup air di kolam yang tercemar limbah pabrik gula. Kasihan, dia si petani tanpa daya dan tak mengerti.
Lain lagi dengan Djoko Pekik, bibit unggul SBT yang kedua, sesudah maestro Amrus Natalsya. Dimana keduanya tidak jauh jaraknya hampir bersamaan waktu saat "berpulang"nya. Kehilangan kedua mereka, berarti SBT sudah habis, tanpa tulang punggung dari daya kekuatannya lagi.
Lewat karya masterpiecenya "Berburu Celeng", Pekik telah membawakan mitologi Jawa yang melegenda. Menganggap satwa celeng adalah lambang kejahatan yang bisa pula menjelma dalam perangai manusia.
Berupa watak keangkaramurkaan dan keserakahan syahwat kekuasaan yang pada gilirannya akan mendatangkan karma dan boomerang atas perbuatan dirinya sendiri.
Sesuai dengan tantangan zamannya, apresiasi publik memproyeksikan "Berburu Celeng" dengan tumbangnya suatu rezim otoriter anti demokrasi yang telah berkuasa selama 32 tahun. Dan rakyat berpesta pora merayakan kemenangannya.
Saya sendiri lewat karya "Matinya Seorang Petani", berupaya melukiskan ketidakadilan yang menimpa seorang petani yang tewas membela hak atas tanah garapannya. Tertembak dipelukan isterinya yang melas berduka menatap wajah suaminya yang tengadah ke langit dalam kebisuan. Sedangkan nun jauh di sana sebuah truk penuh tentara telah melaju meninggalkan tragedi yang mengenaskan itu.
Tema semacam ini diungkapkan pula dalam karya lukisan Suhardjio Pudjonadi. Dimana seorang ibu bersama kedua anak perempuannya telah ditinggalkan ayahnya yang dijemput tentara dalam sebuah truk. Bagaimana nasib sang ayah? Ratusan, bahkan mungkin ribuan anak-anak yang kehilangan orang tuanya pada peristiwa '65.
Begitu pula dalam karya lukisan Hardjio "Perempuan-2 Petani Pulang Panen", ada terbetik tanya misterius yang aneh, tak tampak seorangpun para lelaki di sana. Di mana dan ke mana sang suami dan para bapak mereka? Tanya saja kepada rumput yang bergoyang, kata Ebiet dalam sebuah lagunya.
Episode demi episode tema-tema penderitaan rakyat yang termarjinalkan, kami lukiskan di atas kanvas-kanvas besar. Tentang "Perpisahan" seorang anak ikut ditahan dalam barak, atas bapaknya yang dijemput tentara masuk truk, untuk tak pernah kembali buat selamanya.
Tentang "eksekusi di pinggir jurang" berlatar belakang dengan langit senja yang muram dan pucat, layaknya seperti bersedih sebagai saksi duka atas tragedi yang menyayat hati itu.
Berlanjut kepada "temu diskusi didalam sanggar SBT yang guyub" alias egaliter, membahas metode kerja berkarya 1-5-1, demi kebersamaan yang sangat dirindu berulang kali. Hanya karena sejak mereka boyongan tercerai berai masuk penjara dalam kurungan tembok beton tebal berkawat duri.
Entah berapa lama mereka saling terpisahkan. Sebuah tema menangkapan para tapol berjudul "SBT 1965" dinyatakan oleh para pengamat senirupa sebagai karya lukisan masterpiece saya.
Juga tentang "Penggusuran" rakyat tanpa hunian yang terlunta-lunta, seiring dengan "Pengungsian" alias eksodus yang menerpa mereka dengan berbagai bencana alam dan sosial yang tak keruan bertentunya, layaknya terpuntir dalam lingkaran setan. Quo Vadis mereka, rakyat yang terpinggirkan?
Adrianus Gumelar juga punya karya lukisannya yang berjudul "Pengungsian Urban". Ia memang banyak pengalaman bergaul dan berbaur dengan kaum urban. Jakarta memang pusat tujuan urbanisasi mereka sejak zaman kolonial hingga sekarang. Kenapa selalu dari pedesaan orang-orang yang kebanyakan dari kaum tani yang boyongan mengalir ke kota?
Jawaban karya lukisan Gumelar menyatakan secara visual. Bahwa karena di kota besar terbuka luas peluang untuk mencari nafkah. Di mana secara dinamis beragam kesempatan dan kemungkinan bisa ditemukan di sini. Sedangkan di pedesaan secara monoton satu-satunya peluang kecuali bertani. Berdagang sulit. Tinggal statis!
Tema-tema perjuangan dan penderitaan semacam itu bagai mata air tak pernah kering. Tak pernah habis dalam kelindan inspirasi yang terus berdatangan menyentuh kreativitas seniman perupa untuk dituangkan di atas kanvas. Semua itu terbit dilahirkan dengan serius penuh penghayatan, karena panggilan jiwa dan tanggung jawab moral.
Termasuk tema kelestarian lingkungan tempat ruangan manusia bernafas dalam menapak kehidupan bertanahair. Bagaimana Ibu Pertiwi melimpahkan hutan paru-paru dunia yang membumi dalam air mata duka. Ketika bulldozer tekhnologi yang tak berhati menyeruduk rongga dada pegunungan Meratus, tanah leluhur yang keramat.
Itu tentang hutan Meratus yang dianggap sebagai sumber produk tambang oksigen. Bukan tambang galian dalam tanah yang merusak lingkungan buat kehidupan anak cucu kita jauh ke depan. Betapapun berjubelnya duit para pengusaha batu bara, sayangnya belum begitu peduli bantu membangun sarana seni dan budaya daerah, sebagai investor atau donatur yang baik berdedikasi dan dermawan.
Bagi para seniman perupa manapun, termasuk dari SBT, kelestarian lingkungan hutan adalah tambang estetika warna kehijauan yang subur, segar dan indah. Seperti halnya juga keindahan laut dan pantai sumber warna kebiruan berbatas horizon dikejauhan. Seluas ada cakrawala yang lain di balik cakrawala yang ada.
Lewat karya lukisan "Panorama Pantai Nusantara" di atas kanvas sepanjang hampir 6 meter. Saya telah berupaya menambang keindahan pemandangan laut dan pantai di bawah spektrum warna sinar matahari. Suatu obyek kesayangan para pelukis landscape.
Namun tak akan terlebih indah tanpa di huni manusianya. Dengan kehidupan para nelayan yang bersahabat akrab bersama alam, pemandangan laut dan pantai. Di negeri bawah khatulistiwa tropis, untaian sabuk zambrut mengalungi kepulauan Nusantara. Indonesia adalah poros maritim yang terpenting di dunia.
Begitulah, petikan butir-butir catatan yang tercecer selama 63 tahun, kiprah juang SBT semampunya saya uraikan. Ketika SBT adalah Sampai Batas Tarung terakhir. Layaknya monumen ingatan yang dibangun dalam skala waktu yang panjang, penuh pengorbanan mental, tenaga dan pikiran. Tak terkecuali keringat, darah, air mata serta nyawa.
Adalah absurd dan sia-sia, jika kita tidak menapak dan menatap ke depan. Di samping bermodalkan aset menengok ke belakang, rangkaian masa lalu tak boleh diabaikan. Masa lalu adalah sumber pembelajaran bagi kita kini buat beranjak ke masa datang.
Misbach Tamrin memberikan tanda tanganya dalam sebuah acara pameran lukisan | FOTO: DOK PRIBADI |
Ke depan, kita sambut antusiasme sikap generasi muda sebagai penerus wacana dari apa yang kita gagas dalam wawasan selama ini. Akan menemukan kesinambungan rangkaian antar generasi, tanpa henti secara kontinyu. Demi mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan berbangsa. Bagi tanah air Indonesia kita yang tercinta.
Kini, di hari ini, tinggal saya sendiri selaku "single-fighter" dalam kesendirian. Seorang kawan, Dio Pamola mengimbau saya dengan sarannya, agar supaya menyiapkan pameran tunggal di tahun depan, dengan tajuk "Petarung Terakhir".
"Boleh jadi, jika masih ada umur panjang," respons saya dalam hati. Memang kini saya masih bisa berjalan tanpa harus pakai tongkat. Dan rasanya masih jauh dari duduk harus pakai kursi roda. Di antara kerentanan usia tua renta (83-84 th) menjelang uzur yang memang sudah terasa kadang tercium berbau tanah.
Banjarmasin, 31 Agustus 2024.
*Penulis adalah legenda hidup perupa asal Banua. Kesetiannya terhadap prinsip dan loyalitasnya terhadap tanggung jawab moral terkait fenomena di sekitar dia tuangkan secara produktif melalui lukisan dan tulisan-tulisannya.
Kirimkan karya Anda, baik itu hasil penelitian, opini, esai, puisi, cerpen, dan kawan-kawannya ke email: jurnalbanua19@gmail.com.
Posting Komentar