Mangga | FOTO: MIRCULA ART |
YURI MURYANTO SOEDARNO*
Entah mengapa sore itu insting saya ingin jumpa dengan sosok 'senyuman sabar rumongso rambut putih'. Sosok yang saya sebut dengan panggilan 'Mbah Mongso'.
Namanya sebenarnya adalah Syajidan. Sekilas namanya sama dengan salah satu kawasan legend di Jogjakarta: Sayidan. Walau memang dia sempat sekolah di sana, di kota gudeg, tapi Mbah Mongso lahir di Banjarmasin, kemudian meniti karir di Kotabaru.
Dua hari sejak saya mulai kangen dengan Mbah Mongso, eh Syajidan, saya kedatangan seorang sahabat. Rambutnya juga mulai memutih. Insinyur Sutrisno namanya. Kata insinyur menjadi bagian, karena dia memang jago sekali soal teknis bangunan, dan puluhan tahun mengabdikan ilmunya di lapangan. Mereka berdua sedang terlibat dalam restorasi sebuah masjid di Kotabaru, kerja swadaya.
"Tris, saya mau ketemu Mbah Mongso gimana ya?"
Dia menjawab dengan bertanya, atas pertanyaan bodoh saya, "Nomer kontak punya kan, padepokannya juga tahu kan?"
katanya.
Sayapun mengangguk, dan dia tertawa.
"Namanya manusia, Tris, tidak setiap saat pinter, kadang-kadang ya harus ada gobloknya"
Dia pun ngakak.
Nah, sore itulah saya ke rumah Tris dengan Nandar dari Lamongan, persis tiga hari setelah terakhir ketemu di rumah saya.
Kami duduk di teras menikmati hidangan kopi dan tempe. Menikmati angin semilir yang membuat dedaunan tanaman buah di halaman Tris seperti bernyanyi. Kami sama-sama terdiam, seolah sama-sama larut dalam kenangan kampung leluhur kami di Jawa. Suasana sore begini, di kampung biasanya duduk di beranda menikmati mendoan sembari berbicara tentang kehidupan.
Lagi asyik-asyiknya, tiba-tiba di depan pagar halaman seorang pria paruh baya datang. Rambutnya putih semua. Mbah Mongso masuk sambil tersenyum. Senyumnya mirip dengan orang-orang di Jogjakarta yang sudah terbiasa menghadapi para pendatang dan turis: ramah dan tenang.
"Luar biasa, angin apa gerangan. Baru beberapa hari lalu saya cerita, kangen dengan Anda. Dan sekarang takdir mengabulkan itu. Benar kata orang, kita kadang lupa bersyukur atas semua kebaikan. Mungkin ini kebetulan, tapi kan tidak ada satu daun pun yang jauh selain sudah ditentukan," ujar saya membuat Mbah Mongso melebarkan senyumnya.
Kami lalu ngobrol ngarol-ngidul tentang berbagai hal. Tengah asyik kami mengobrol, beberapa buah mangga jatuh dari pohon yang ada di halaman rumah Tris.
Tris kembali masuk ke dalam rumah, setelah sebelumnya menambah secangkir kopi untuk tamu yang dirindukan. Sekarang dia keluar membawa piring dan pisau dapur. Mangga yang tadi jatuh dia pungut, dikupas. Aromanya kontras dengan tempe dan kopi.
"Kalau memang sudah rezeki tidak kemana. Barangkali inilah adalah buah mangga keseimbangan. Menjatuhkan diri untuk kita nikmati dan pemilik dunianya ikhlas memberikan untuk kita makan, serta Pemilik Semesta pun meridhoi untuk dimasukkan ke darah daging kita". Kata-kata Mbah Mongso yang filosofis itu membuat kami sama-sama terdiam.
Mengerti kan sekarang, kenapa saya merindukannya. Merindukan ketenangan senyumnya, kebijaksanaannya, yang seperti oase di tengah arus modernisasi menggempur hampir setiap sendi kehidupan kita. Kehadirannya melipur gelisah saya, di tengah kegersangan gagasan dalam dunia berpolitik kita dewasa ini.
"Walaupun itu mangga, tapi ingat, kita tidak bisa membuatnya," lanjut Mbah Mongso.
Bismillah, kami masing-masing mengambil mangga dan mengecapnya. Dalam hati saya bungah, enak dan manis juga ternyata mangga yang dapat pupuk air comberan di trotoar. Rumah Tris persis di pinggir jalan utama.
Saat saya menulis ini tadi pagi sembari duduk di kayu ulin pada kebun belakang rumah dekat kandang ayam, isteri saya datang membawa sapu. "Ayah, Mbah Mongso lewat di depan rumah. Ulun persilakan mampir, dan kasih tahu kalau Pian ada di belakang. Katanya salam saja dulu, ada yang buru-buru dia mau kerjakan".
Saya terdiam. Terngiang perkataan Mbah Mongso ketika saya mengejek rambut putihnya. "Rambut putih di dunia itu biarlah apa adanya, karena bisa jadi itu suatu tanda, bahwa kita harus belajar menjauhi dunia hitam".
Penulis (kanan) bersama Syajidan di rumah seorang rekannya di Kotabaru | FOTO: DOK PRIBADI |
Pulau Laut, akhir Agustus 2024
---------------
*Penulis akrab di sapa Ceppe/Utuh Iyur adalah alumni FISIP ULM, salah satu pelopor MPA Fisipioneer, pernah mengajar di beberapa Perguruan Tinggi. Sekarang tinggal di Kotabaru, mengerjakan apa yang dia suka, salah satunya adalah menulis.
Silakan kirimkan tulisan Anda ke email redaksi: jurnalbanua19@gmail.com.
Posting Komentar