Muhidi | DESAIN FOTO: JURNAL BANUA |
M SYARAFUDIN*
“Kemarin rumahku seperti kapal pecah,” kata Fathul.
Ucapan itu mengacu pada momen genting di bulan Desember 2015. Muhidin yang berpasangan dengan Gusti Farid Hasan Aman, kalah tipis dari pasangan Sahbirin Noor dan Rudy Resnawan.
“Tegang sekali. Rasanya tak ingin mengulang pengalaman itu,” tambah Fathul.
Namun suaminya punya pendapat berbeda. Tak lama Muhidin muncul dan nimbrung. Kami duduk bertiga.
Cepat atau lambat, Muhidin yakin akan sampai ke sana—ia kerap menyebut jabatan gubernur dengan istilah “Raja Banjar”.
“Hanya umur yang bisa mencegah saya,” katanya.
Lima tahun kemudian, ia merapat ke rivalnya. Menjadi wakil gubernur.
Empat tahun berselang, Muhidin menggandeng Bos Barito Putera, Hasnuryadi Sulaiman. Seperti sama kita tahu, dia memenangkan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan.
Meraup 83 persen suara. Menyapu bersih semua kabupaten dan kota. Mengalahkan istri Paman Birin, Raudatul Jannah.
Setelah satu dekade, pada usia 66 tahun, Muhidin akhirnya menjadi Raja Banjar.
A Good Manager
Tahun 2011 di Balai Kota Jalan RE Martadinata Nomor 1, saya masih reporter magang.
Muhidin dengan segala kontroversinya telah menjadi news maker. Apa saja yang ia ucapkan bakal menjadi headline.
Tentu tidak mudah menulis berita dari rekaman wawancara Muhidin. Meski punya selera humor, public speaking tak pernah menjadi kelebihannya.
Di kalangan wartawan sampai ada guyonan populer, “Hanya Allah dan Muhidin sendiri yang tahu maksud dari statement-nya.”
Muhidin memang bukan politisi yang artikulatif. Dia juga bukan orator ulung. Anda sendiri telah menontonnya dalam debat kandidat kemarin.
Tapi Muhidin, mantan guru olahraga dan pengusaha tambang asal Binuang, adalah seorang manajer berbakat.
Kala itu belum ada lelang jabatan. Kepala daerah bisa dengan mudah menunjuk dan mencopot para pembantunya.
Di era Muhidin, dalam setahun bisa tiga kali terjadi pelantikan di pemkot. Kepala dinas yang tak becus dan cuma bisa menjilat, dicopot. Mereka yang kinerjanya oke, dipromosikan.
Pejabat model Muhammadun, kemungkinan tidak akan dikasih jabatan strategis seperti Kepala Dinas Pendidikan. Madun yang kerap bikin blunder tak akan mendapat tempat di “kabinet” Muhidin.
Sebagai wali kota, Muhidin yang diremehkan di awal kemunculan, memberikan banyak hal untuk masyarakat Banjarmasin.
Menaikkan APBD kota hingga dua kali lipat. Membersihkan trotoar dari kaki lima. Membebaskan sungai-sungai dari bangunan liar. Dan, membangun taman siring secara masif.
Muhidin yang populer bisa dengan mudah menjadi wali kota dua periode. Tapi ia malah nekat ke Pilgub.
Nekat karena Sahbirin sudah memborong habis dukungan semua partai. Sementara ia menjadi penantang dari jalur independen. Muhidin melawan arus politik.
“Perkenalkan, saya adalah gubernur versi quick count,” selorohnya usai kalah di Pilkada 2015.
Satu hal yang saya sukai dari Muhidin. Ia tampil apa adanya. Cuek dengan pencitraan.
Muhidin yang tergolong crazy rich, tidak pernah mencoba tampil bersahaja demi dicap merakyat.
Muhidin senang mengenakan cincin permata. Suka memakai jaket, sepatu, dan kacamata bermerek.
Dia juga menolak memakai fasilitas mobil dinas yang diberikan pemkot. Sedan itu diparkir saja di Balai Kota. Muhidin lebih memilih mobil pribadi yang mewah. Ia bahkan pernah ngantor naik moge.
Anda mungkin masih ingat, dalam acara sertijab dengan Penjabat Wali Kota Thamrin, Muhidin mengenakan jas warna ungu cerah!
Dari segi penampilan, Muhidin adalah antitesis Jokowi.
Pagar Api Dijebol
Di bilik suara, kita memilih untuk kepentingan masing-masing. Saya juga begitu.
Saya mengabaikan fakta bahwa Muhidin didukung Haji Isam dan Dozer. Saya memilih Muhidin karena berharap ia belum berubah.
Semasa wali kota, Muhidin merengut dan ngomel ketika ada wartawan yang menulis berita miring tentang kebijakannya. Tetapi ia tidak berupaya membungkam kami.
Dia tetap meladeni doorstop, wawancara cegat. Seburuk apapun mood-nya. Jika pertanyaannya terlalu sensitif, paling dijawab “no comment.”
Tradisi baik ini dilanjutkan oleh penggantinya, Ibnu Sina. Selama dua periode menjabat wali kota, wartawan bebas mengkritik kebijakan pemkot. Ibnu menghormati profesi kami.
Sikap Ibnu Sina menjadi anomali dalam satu dekade terakhir. Ketika kebebasan pers remuk. Nyaris tidak ada media lokal yang berani mengkritik gubernur dan pemprov. Semua yang terbit adalah rilis dan rilis.
Di ruang redaksi, pagar api (firewall) yang membedakan antara produk jurnalistik dengan advertorial juga telah runtuh. Garis pembatas antara pekerjaan wartawan dan humas menjadi kabur.
Saya pribadi turut bersalah. Pernah menjabat pemimpin redaksi, toh saya juga tidak bisa berbuat banyak untuk menegakkan kembali pagar api tersebut.
Dan, kalau ada media yang ngeyel, siap-siap belanja iklannya diputus. Sementara hidup dan matinya media bergantung pada iklan.
Kebijakan itu diterapkan pemprov, dan celakanya ditiru beberapa pemkab. Akibatnya, pembaca yang kecewa pada media mainstream beralih ke media sosial. Tempat di mana
berita-berita tak terverifikasi tumbuh subur.
Akhirnya, yang rugi kita semua. Bukan hanya media dan pembaca, tapi juga pemda. Sebab disinformasi merusak demokrasi.
Maka hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2024 yang dirilis Dewan Pers pada awal November kemarin, patut kita tertawakan.
Survei itu mengatakan, di Indonesia hari ini, pers Kalsel lah yang paling bebas. Skornya 80,9. Entah apa indikator yang dipakai.
Sekali lagi, saya berharap Muhidin belum berubah. Beliau masih yang dulu. Pejabat yang tidak anti kritik dan tak memandang wartawan sebagai musuh. (*/zal)
*Penulis adalah jurnalis yang tinggal di Guntung Manggis, Banjarbaru. Opini penulis awalnya berjudul Muhidin dan Harapan Kebebasan Pers, namun sesuai pakem penggunaan judul di kolom Goresan, redaksi mengganti judul tersebut dengan Muhidin: Hanya Umur yang Bisa Cegah Saya.
Silakan kirim tulisan Anda ke email jurnalbanua19@gmail.com
Posting Komentar